Surabaya 22 Oktober 2025 :
Ibu Nyai Hj. Ida Rohma Susiani, MM. Pahlawan perjuangan, jihad mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari para penjajah yang ingin kembali menguasai bumi
Indonesia — itu dikumandangkan, digelorakan, di Jawa Timur, berpusat di
Surabaya.
Oleh siapa? Oleh para santri yang dipimpin langsung oleh para kiai, para alim ulama pesantren — komando Resolusi Jihad yang dimaklumatkan secara langsung oleh Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Lalu, mengapa peringatan Hari Santri?
Mengapa bukan Hari Kiai?
Jawabannya adalah karena setiap kiai itu juga seorang
santri.
Pernah nyantri. Kiai adalah santri dari kiainya.
Dan selamanya, mereka menikralkan diri sebagai santri.
Bagaimana semboyan yang sangat terkenal:
“Mā zilnā ṭālibīn” — Selamanya, kami adalah santri.
Kita ingat, Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari pernah
nyantri kepada Syaikhona Khalil Bangkalan.
Kemudian, setelah beliau pulang ke Jombang, beliau mendirikan Pondok Pesantren
Tebuireng.
Ternyata, Syaikhona Khalil suatu ketika datang ke Tebuireng,
dalam rangka nyantri kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari terkejut,
“Wahai guru, kenapa engkau datang ke sini untuk nyantri?”
Apa jawab Syaikhona Khalil?
“Yang lalu, sudah berlalu. Sekarang, saya adalah santrimu.”
Beliau ketika akan pulang ke Kediri, singgah di Tebuireng.
Tidak lama, namun menetap selama empat sampai lima tahun.
Apa yang beliau lakukan di Tebuireng selama itu?
Beliau nyantri kepada adik kelasnya sendiri, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Itulah keteladanan dari para guru kita.
S -A– N – T – R – I.
Jika boleh saya uraikan:
- S:
Sederhana.
- A:
Agama selalu dijaga.
- N:
Ngaji adalah aktivitas utama.
- T:
Taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpinnya.
- R:
Ramah-tamah kepada sesama.
- I:
Indonesia adalah bangsa dan negara yang sangat dicintainya.
Santri pernah diuji dengan serangan kebencian oleh PKI,
dimulai sejak tahun 1948.
Dengan slogan keji: “Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati!”
Slogan itu digemakan di berbagai daerah, khususnya di Jawa Timur.
Puncaknya terjadi pada tahun 1965. Dari masa ke masa, santri
terus diuji, dan terbukti — semakin diuji, semakin tangguh menghadapi ujian.
Itulah santri.
Santri selalu relevan dengan kondisi zaman dan tempat di
mana pun ia berada.
Santri harus bisa berbahasa selain bahasa sendiri, bahkan bahasa asing, bukan
sekadar untuk berkomunikasi, tetapi agar mampu memahami cara berpikir orang
lain.
Nasionalisme santri Indonesia harus ditunjukkan,
bukan hanya ke dalam, tetapi juga ke luar.
Nasionalisme santri harus termanifestasi dalam pribadi yang spektakuler.
Cara terbesar untuk mengabdi kepada bangsa dan negara di
kancah peradaban dunia adalah dengan menjadi pribadi yang kompeten,
karismatik, dan berilmu, yang mampu mengartikulasikan pesan dakwah dan
perjuangannya — lewat lisan, tulisan, maupun karya lainnya — namun tetap rendah
hati, bijaksana, berbudaya, beretika, dan berdaulat secara individu, bukan
hanya secara institusi.
Hanya dengan menjadi individu yang powerful, namun
tetap baik, santun, dan beradab, santri akan mampu berperan secara maksimal di
kancah peradaban dunia.
Karena itu, santri wajib menjadikan dirinya untuk selalu
belajar, tidak malas-malasan.
Sebab, bila sifat malas dipelihara, dampaknya bukan hanya bagi dirinya, tetapi
juga bagi generasi anak-cucunya. Na’ūdzu billāhi min dzālik.
Santri harus mampu berpikir secara kompleks,
interdisipliner, memahami posisinya di alam semesta, ingat akan akar budayanya,
dan menjadi individu yang membawa arti bagi bangsa dan negara Indonesia.
Dengan kemandirian, kesungguhan, dan keunikannya, santri
mampu membawa Indonesia keluar dari kegelapan menuju cahaya, dari penjajahan
menuju kemerdekaan sejati — dari Indonesia yang cemas menuju Indonesia Emas.
Demikianlah yang kita harapkan dari kita semua.
Kita adalah santri, dan selamanya kita adalah santri.
Tirukan saya:
Mā zilnā ṭālibīn!
Mā zilnā ṭālibīn!
Selamanya kita adalah santri!
Selamanya kita adalah santri!
Allāhu Akbar! Allāhu Akbar! Allāhu Akbar! Walillāhil ḥamd!
Al-‘afu minkum, tsumma assalāmu ‘alaykum wa raḥmatullāhi wa barakātuh.
